Jumat, 11 Maret 2011

Langkah Setan Menelanjangi Wanita


Setelah pakaian yang menampak kan betis menjadi pakaian sehari-hari dan dirasa biasa-biasa saja, maka datanglah bisikan setan yang lain. "Pakaian membutuhkan variasi, jangan itu-itu saja, sekarang ini modelnya rok mini, dan agar serasi rambut kepala harus terbuka, sehingga benar-benar kelihatan indah."

Maka akhirnya rok mini yang menampakkan bagian bawah paha dia pakai, bajunya pun bervariasi, ada yang terbuka hingga lengan tangan, terbuka bagian dada sekaligus bagian punggung nya dan berbagai model lain yang serba pendek dan mini. Koleksi pakaiannya sangat beraneka ragam, ada pakaian pesta, berlibur, pakaian kerja, pakaian resmi, pakaian malam, sore, musim panas, musim dingin dan lain-lain, tak ketinggalan celana pendek separuh paha pun dia miliki, model dan warna rambut juga ikut bervariasi, semuanya telah dicoba.
Begitulah sesuatu yang sepertinya mustahil untuk dilakukan, ternyata kalau sudah dihiasi oleh setan, maka segalanya menjadi serba mungkin dan diterima oleh manusia.
Hingga suatu ketika, muncul ide untuk mandi di kolam renang terbuka atau mandi di pantai, di mana semua wanitanya sama, hanya dua bagian paling rawan saja yang tersisa untuk ditutupi, kemaluan dan buah dada. Mereka semua mengenakan pakaian yang sering disebut dengan "bikini". Karena semuanya begitu, maka harus ikut begitu, dan naudzu billah bisikan setan berhasil, tujuannya tercapai, "Menelanjangi Kaum Wanita." Selanjutnya terserah kamu wahai wanita, kalian semua sama, telanjang di hadapan laki-laki lain, di tempat umum. Aku berlepas diri kalau nanti kelak kalian sama-sama di neraka. Aku hanya menunjukkan jalan, engkau sendiri yang melakukan itu semua, maka tanggung sendiri semua dosamu" Setan tak mau ambil resiko.


Demikian halus, cara yang digunakan setan, sehingga manusia terjeru-mus dalam dosa tanpa terasa. Maka hendaklah kita semua, terutama orang tua jika melihat gejala menyimpang pada anak-anak gadis dan para wanita kita sekecil apapun, segera secepatnya diambil tindakan. Jangan biarkan berlarut-larut, karena kalau dibiarkan dan telah menjadi kebiasaan, maka sangat sulit bagi kita untuk mengatasinya.
Membiarkan mereka membuka aurat berarti merelakan mereka mendapatkan laknat Allah, kasihanilah mereka, selamatkan para wanita muslimah, jangan jerumuskan mereka ke dalam kebinasaan yang menyeng-sarakan, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu alam bis shawab (as) http://www.suaramedia.com

Senin, 28 Februari 2011

Padamnya Rasa Cemburu

Awal Runtuhnya Ghirah
Hilangnya ghirah dari lubuk hati seorang insan disebabkan oleh banyak hal, di antara sebab terbesar yang bisa kita saksikan adalah:
1. Kebanyakan mereka berpaling dari mempelajari agama yang agung ini, yang dengannya Allah memuliakan kita setelah sebelumnya kita hina. Namun ketika nikmat yang agung ini disia-siakan dan manusia enggan mengikuti petunjuk Rasul yang menyampaikan agama ini, mereka kembali terpuruk hina dina di hadapan umat lainnya. Sehingga mereka merasa minder bila tidak mengikuti orang-orang kafir. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, mereka terus mengikuti jejak orang-orang kafir tersebut. Dalam keadaan mereka menyangka bahwa itu adalah peradaban dan kemajuan, padahal sebenarnya hal itu adalah kehinaan dan kehancuran. Kenyataan yang demikian ini telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam jauh sebelumnya, beliau bersabda:

“Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara hidupnya) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke dalam lubang dhabb (sejenis biawak), kalian pun akan memasukinya.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)

2. Termasuk perkara yang menyebabkan hilangnya ghirah dalam dada kaum muslimin adalah banyaknya fitnah dan perubahan yang mereka terima lalu ditelan mentah-mentah oleh hati-hati mereka sehingga menjadi bagian darinya. Akibatnya terbaliklah fitrah mereka. Dalam pandangan mereka, yang mungkar adalah ma‘ruf dan yang ma‘ruf adalah mungkar. Bila ada yang membawakan kebenaran kepada mereka sementara kebenaran itu menyelisihi kebiasaan mereka, maka mereka menganggap hal itu jumud, terbelakang, dan menghambat kemajuan. Membebaskan wanita keluar dari rumahnya dengan segenap keindahannya adalah termasuk kemajuan dalam pikiran kotor mereka.

3. Hal lain yang membuat seorang suami menanggalkan ghirah-nya adalah persangkaannya yang keliru. Dia menyangka bahwa rasa malu dan menutup tubuh (berhijab) bagi wanita adalah bagian dari masa lalu sehingga telah ketinggalan jaman bila tetap dikenakan di masa modern ini. Ia tidak ingin mengekang istrinya dengan kebiasaan yang sudah usang dimakan jaman, bahkan ia ingin menunjukkan kepada istrinya dan kepada orang lain bahwa ia seorang laki-laki yang moderat dan selalu mengikuti kemajuan.

4. Tenggelam dalam lumpur dosa termasuk salah satu sebab padamnya api ghirah di dalam hati dan hal ini merupakan hukuman atas dosa yang diperbuat. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ad-Daau wad Dawa, hal. 106)

Dari penjelasan yang kita dapatkan di atas, pahamlah kita bahwa ghirah dalam batasan yang diperkenankan syariat merupakan sifat yang terpuji. Dengan ghirah ini seorang laki-laki dapat menjaga istrinya dan mahramnya yang lain dari perbuatan yang melanggar syariat Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Sebaliknya tidak adanya ghirah menyebabkan seorang suami membiarkan istrinya jatuh ke dalam lumpur noda dan dosa. Akibatnya kejelekan dan fitnah pun tersebar…
Betapa butuhnya kita untuk kembali kepada aturan syariat yang mulia ini. Betapa perlunya kita kembali menengok ke masa lalu yang sangat menjaga ghirah, masa lalu yang sarat dengan penerapan ajaran agama yang mulia ini. Dan sungguh ini adalah senandung kerinduan kepada masa lalu….

Sumber : http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=132

Senin, 06 September 2010

Cinta, Anugerah Terindah dari Allah

Semua orang punya rasa cinta. Tapi tidak semua bisa menempatkan secara benar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) suatu saat ingin menolong seorang suami yang bermasalah dengan isterinya. Suami itu bernama Mughits, seorang budak berkulit hitam milik Bani Al-Mughirah. Sedang isterinya, Barirah, seorang budak milik Bani Hilal. Ketika itu Barirah dimerdekakan oleh majikannya, sementara Mughits belum.

Karena perbedaan status sosial itu, Barirah memilih berpisah dengan suaminya. Namun, perpisahan itu membuat Mughits sangat sedih. Dengan berlinang air mata, ia memohon kerelaan isterinya untuk tetap hidup bersamanya.

Kejadian itu diperhatikan oleh Rasulullah SAW dan berkata kepada pamannya, Abbas Radhiyallahu ‘anhu (RA), “Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa cinta Mughits pada Barirah dan rasa benci Barirah terhadap Mughits?”

Kemudian beliau berkata pada Barirah, ”Seandainya engkau kembali kepada Mughits?”
Barirah bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku?”
“Tidak,” kata Rasulullah SAW, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.”

“Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah

Cinta, Anugerah Ilahi
Cinta adalah rasa yang terdalam dalam diri manusia. Ia hanya diketahui oleh yang bersangkutan dan Allah SWT yang menggenggam hati manusia. Beragam cara yang dilakukan manusia untuk merebut cinta dari sang pujaan hati. Cinta itu akan sia-sia bila rasa cinta belum dianugerahkan kepada si dia untuk kita miliki.
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. ” (Ar-Rum [30]: 21).

Dari ayat di atas, jelas bahwa Allahlah yang akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang antara suami-isteri. Adapun rasa cinta atau sayang antara dua orang yang tidak ada hubungan apa-apa, ia bukanlah cinta yang diridhai Allah SWT. Ia lebih kepada hawa nafsu atau sekadar perasaan yang timbul karena faktor-faktor tertentu. Di antaranya, mungkin seringnya bertemu karena kebetulan satu profesi, satu kantor, teman sekampus dan lain lain. Perlu diketahui bahwa setan tidak akan henti-hentinya menggoda manusia sampai terjerumus kepada dosa.

Tetapi tidak menutup kemungkinan cinta dalam ikatan perkawinan bisa memudar sebagaimana yang terjadi antara Barirah dan Mughits karena beragam sebab. Hanya iman yang kuat yang dapat melanggengkan rasa cinta dalam perkawinan, karena cintanya dilandasi cinta karena Allah SWT.

Namun, dari ayat di atas ini pula orang-orang yang membenci Islam mengartikan kalimat “…Dia menciptakan pasanganmu dari jenismu sendiri …” sebagai pembolehan mencintai dan menikah dengan sesama jenis. Laki-laki menikah dengan laki-laki, perempuan menikah dengan perempuan.
Padahal, arti sebenarnya dari kalimat ini adalah manusia akan menikah dengan manusia, bukan dengan jenis binatang atau bangsa jin.

Tidak ada yang ditimpa bencana dengan penyakit ini sebagaimana di lakukan umat semasa Nabi Luth Alaihisalam, kecuali orang yang dijauhkan dari pandangan Allah SWT, hingga ia terusir dari pintu-Nya dan jauh hatinya dari Allah SWT.

“Dan (Kami telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan syahwatmu (kepada mereka), bukan kepada perempuan, kamu benar benar kaum yang melampaui batas.” (Al-A’raf [7]: 80-81).

Cinta Kasih Suami-Isteri
Rasa cinta yang tumbuh di antara suami- isteri merupakan cinta yang sifatnya fitrah. Tidaklah tercela orang yang senantiasa memiliki rasa cinta asmara kepada pasangan hidupnya yang sah. Bahkan hal itu merupakan kesempurnaan yang semestinya disyukuri. Rasulullah SAW sebagai manusia yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugrahi rasa cinta kepada para isterinya. Ketika beliau ditanya oleh sahabatnya yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, ”Aisyah.” Aku (’Amr ibnul ‘Ash) berkata, “Dari kalangan lelaki?”

“Ayahnya (Abu Bakar)!”

Rasulullah SAW juga membela dan memuji Khadijah bintu Khuwailid Radhiyallahu ‘anha (RA) ketika ‘Aisyah RA cemburu kepadanya: “Sesungguhnya aku diberi rezeki yaitu mencintainya?”

Perasaan cinta kepada pasangan hidup kita, kadang mengalami gejolak sebagaimana pasang surut yang dialami sebuah kehidupan rumah tangga. Tinggal bagaimana kita menjaga tumbuhnya cinta itu agar tidak layu, terlebih mati.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk merawat cinta kasih di antara suami-isteri. Misalnya, dengan menumbuhkan rasa saling mengerti dan memahami sifat dan karakter masing-masing. Tidak ada salahnya bila kita memahami dan mengerti dunia kerja pasangan kita. Hal ini akan menumbuhkan sikap saling mendukung dan menguatkan bila suatu saat pasangan kita mengalami permasalahan.

Memerhatikan hal-hal yang terkesan remeh, itu juga bisa melanggengkan rasa cinta dihati. Contohnya, menjaga penampilan atau mengucapkan kata-kata romantis pada pasangan kita. Rasulullah SAW berkata, ”Ucapan suami kepada isterinya: ‘Aku mencintaimu’, tak akan pernah hilang dari hati isterinya untuk selamanya.”

Al-Hasan bin Jahm telah meriwayatkan dari Ali bin Musa Al-Ridha, ”Aku pernah melihat Abu Hasan berhias. Lantas aku bertanya: ‘Aku menjadikan diriku sebagai tebusan dirimu. Apakah engkau sedang menghias diri?’ Ia menjawab: ‘Ya, sesungguhnya berhias dan berkeinginan agar tetap tampil indah dipandang mata adalah suatu perbuatan yang dapat menambah kelembutan pada perempuan. Demi Allah, perempuan itu tidak mau memelihara diri disebabkan suaminya tidak mau berhias agar tetap sedap dipandang mata. Sebagian akhlak para nabi ialah menjaga kebersihan, memakai wangi-wangian, mencukur rambut dan banyak mencampuri isteri mereka.”

Cinta Sesungguhnya
Cinta yang senantiasa terpelihara mesra dengan pasangan kita adalah anugerah yang terindah. Namun, hendaknya kita bisa menempatkan cinta itu pada tempat yang semestinya. Jangan sampai cinta pada belahan hati melupakan cinta yang seharusnya lebih kita utamakan, yaitu cinta kepada yang mempunyai cinta, Allah SWT. Tidak sedikit manusia yang lalai atau terjerumus karena cinta. Cinta kepada manusia tidak akan berlangsung lama. Maka cinta kepada Allah SWT adalah cinta yang abadi.

“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik?” (At-Taubah [9]: 24). *Sri Lestari, ibu rumah tangga tinggal di Yogyakarta. SUARA HIDAYATULLAH, MEI 2009

Sabtu, 31 Juli 2010

Mawaddah, Mahabbah dan Rahmah dalam Kehidupan Sepasang Insan

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Perasaan cinta kepada pasangan hidup kita terkadang mengalami gejolak sebagaimana pasang surut yang dialami sebuah kehidupan rumah tangga. Tinggal bagaimana kita menjaga tumbuhan cinta itu agar tidak layu terlebih mati.

Satu dari sekian tanda kebesaran-Nya yang agung, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan anak Adam ‘alaihissalam memiliki pasangan hidup dari jenis mereka sendiri, sebagaimana kenikmatan yang dianugerahkan kepada bapak mereka Adam ‘alaihissalam. Di saat awal-awal menghuni surga, bersamaan dengan limpahan kenikmatan hidup yang diberikan kepadanya, Adam ‘alaihissalam hidup sendiri tanpa teman dari jenisnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun melengkapi kebahagiaan Adam dengan menciptakan Hawa sebagai teman hidupnya, yang akan menyertai hari-harinya di surga nan indah.

Hingga akhirnya dengan ketetapan takdir yang penuh hikmah, keduanya diturunkan ke bumi untuk memakmurkan negeri yang kosong dari jenis manusia (karena merekalah manusia pertama yang menghuni bumi). Keduanya sempat berpisah selama beberapa lama karena diturunkan pada tempat yang berbeda di bumi (Al-Bidayah wan Nihayah, 1/81). Mereka didera derita dan sepi sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertemukan mereka kembali.

Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala menutup “sepi” hidup seorang lelaki keturunan Adam dengan memberi istri-istri sebagai pasangan hidupnya. Dia Yang Maha Agung berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum: 21)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan seorang istri dari keturunan anak manusia, yang asalnya dari jenis laki-laki itu sendiri, agar para suami merasa tenang dan memiliki kecenderungan terhadap pasangan mereka. Karena, pasangan yang berasal dari satu jenis termasuk faktor yang menumbuhkan adanya keteraturan dan saling mengenal, sebagaimana perbedaan merupakan penyebab perpisahan dan saling menjauh. (Ruhul Ma’ani, 11/265)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia jadikan dari jiwa yang satu itu pasangannya agar ia merasa tenang kepadanya…” (Al-A’raf: 189)

Kata Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “Yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah Hawa. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakannya dari Adam, dari tulang rusuk kirinya yang paling pendek. Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan anak Adam semuanya lelaki sedangkan wanita diciptakan dari jenis lain, bisa dari jenis jin atau hewan, niscaya tidak akan tercapai kesatuan hati di antara mereka dengan pasangannya. Bahkan sebaliknya, akan saling menjauh. Namun termasuk kesempurnaan rahmat-Nya kepada anak Adam, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan istri-istri atau pasangan hidup mereka dari jenis mereka sendiri, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tumbuhkan mawaddah yaitu cinta dan rahmah yakni kasih sayang. Karena seorang lelaki atau suami, ia akan senantiasa menjaga istrinya agar tetap dalam ikatan pernikahan dengannya. Bisa karena ia mencintai istrinya tersebut, karena kasihan kepada istrinya yang telah melahirkan anak untuknya, atau karena si istri membutuhkannya dari sisi kebutuhan belanja (biaya hidupnya), atau karena kedekatan di antara keduanya, dan sebagainya.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1052)

Mawaddah dan rahmah ini muncul karena di dalam pernikahan ada faktor-faktor yang bisa menumbuhkan dua perasaan tersebut. Dengan adanya seorang istri, suami dapat merasakan kesenangan dan kenikmatan, serta mendapatkan manfaat dengan adanya anak dan mendidik mereka. Di samping itu, ia merasakan ketenangan, kedekatan dan kecenderungan kepada istrinya. Sehingga secara umum tidak didapatkan mawaddah dan rahmah di antara sesama manusia sebagaimana mawaddah dan rahmah yang ada di antara suami istri. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 639)

Allah Subhanahu wa Ta’ala tumbuhkan mawaddah dan rahmah tersebut setelah pernikahan dua insan. Padahal mungkin sebelumnya pasangan itu tidak saling mengenal dan tidak ada hubungan yang mungkin menyebabkan adanya kasih sayang, baik berupa hubungan kekerabatan ataupun hubungan rahim. Al-Hasan Al-Bashri, Mujahid, dan ‘Ikrimah rahimuhumullah berkata: “Mawaddah adalah ibarat/kiasan dari nikah (jima‘) sedangkan rahmah adalah ibarat/kiasan dari anak.” Adapula yang berpendapat, mawaddah adalah cinta seorang suami kepada istrinya, sedangkan rahmah adalah kasih sayang suami kepada istrinya agar istrinya tidak ditimpa kejelekan. (Ruhul Ma’ani 11/265, Fathul Qadir 4/263)

Cinta Suami Istri adalah Anugerah Ilahi

Rasa cinta yang tumbuh di antara suami istri adalah anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada keduanya, dan ini merupakan cinta yang sifatnya tabiat. Tidaklah tercela orang yang senantiasa memiliki rasa cinta asmara kepada pasangan hidupnya yang sah. Bahkan hal itu merupakan kesempurnaan yang semestinya disyukuri. Namun tentunya selama tidak melalaikan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ. وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari zikir/mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)

رِجَالٌ لاَ تُلْهِِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَ بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah… (An-Nur: 37) (Ad-Da`u wad Dawa`, Ibnul Qayyim, hal. 293, 363)

Juga, cinta yang merupakan tabiat manusia ini tidaklah tercela selama tidak menyibukkan hati seseorang dari kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Dzat yang sepantasnya mendapat kecintaan tertinggi. Karena Dia Yang Maha Agung mengancam dalam firman-Nya:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ

Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)

Kecintaan kepada Istri

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta kepada para istrinya. Beliau nyatakan dalam sabdanya:

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُنْيَا النِّسَاءُ وَ الطِّيْبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ

Dicintakan kepadaku dari dunia kalian1, para wanita (istri) dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.”2

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh shahabatnya yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhu:

أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ. فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ : أَبُوْهَا

“Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab: “Aisyah.”
Aku (‘Amr ibnul Ash) berkata: “Dari kalangan lelaki?”
“Ayahnya (Abu Bakar),” jawab beliau.3

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata membela dan memuji Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha cemburu kepadanya:

إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا

Sesungguhnya aku diberi rizki yaitu mencintainya.” 4

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah ingin menjadi perantara dan penolong seorang suami yang sangat mencintai istrinya untuk tetap mempertahankan istri yang dicintainya dalam ikatan pernikahan dengannya. Namun si wanita enggan dan tetap memilih untuk berpisah, sebagaimana kisah Mughits dan Barirah. Barirah5 adalah seorang sahaya milik salah seorang dari Bani Hilal. Sedangkan suaminya Mughits adalah seorang budak berkulit hitam milik Bani Al-Mughirah. Barirah pada akhirnya merdeka, sementara suaminya masih berstatus budak. Ia pun memilih berpisah dengan suaminya diiringi kesedihan Mughits atas perpisahan itu. Hingga terlihat Mughits berjalan di belakang Barirah sembari berlinangan air mata hingga membasahi jenggotnya, memohon kerelaan Barirah untuk tetap hidup bersamanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau, Al-’Abbas radhiallahu ‘anhu:

يَا عَبَّاسُ, أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيْثٍ بَرِيْرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيْرَةَ مُغِيْثًا؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ رَاجَعْتِهِ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ. قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيْهِ

Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa cinta Mughits pada Barirah dan rasa benci Barirah terhadap Mughits?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Barirah: “Seandainya engkau kembali kepada Mughits.” Barirah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan aku?”
Tidak,” kata Rasulullah, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.”
“Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah.6

Tiga Macam Cinta Menurut Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu

Perlu diketahui oleh sepasang suami istri, menurut Al-Imam Al-’Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar yang lebih dikenal dengan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu, ada tiga macam cinta dari seorang insan kepada insan lainnya:

Pertama: Cinta asmara yang merupakan amal ketaatan. Yaitu cinta seorang suami kepada istri atau budak wanita yang dimilikinya. Ini adalah cinta yang bermanfaat. Karena akan mengantarkan kepada tujuan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam pernikahan, akan menahan pandangan dari yang haram dan mencegah jiwa/hati dari melihat kepada selain istrinya. Karena itulah, cinta seperti ini dipuji di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di sisi manusia.

Kedua: Cinta asmara yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan menjauhkan dari rahmat-Nya. Bahkan cinta ini paling berbahaya bagi agama dan dunia seorang hamba. Yaitu cinta kepada sesama jenis, seorang lelaki mencintai lelaki lain (homo) atau seorang wanita mencintai sesama wanita (lesbian). Tidak ada yang ditimpa bala dengan penyakit ini kecuali orang yang dijatuhkan dari pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga ia terusir dari pintu-Nya dan jauh hatinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyakit ini merupakan penghalang terbesar yang memutuskan seorang hamba dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cinta yang merupakan musibah ini merupakan tabiat kaum nabi Luth ‘alaihissalam hingga mereka lebih cenderung kepada sesama jenis daripada pasangan hidup yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan:

لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُوْنَ

Demi umurmu (ya Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan.” (Al-Hijr: 72)

Obat dari penyakit ini adalah minta tolong kepada Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati, berlindung kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, menyibukkan diri dengan berdzikir/mengingat-Nya, mengganti rasa itu dengan cinta kepada-Nya dan mendekati-Nya, memikirkan pedihnya akibat yang diterima karena cinta petaka itu dan hilangnya kelezatan karena cinta itu. Bila seseorang membiarkan jiwanya tenggelam dalam cinta ini, maka silahkan ia bertakbir seperti takbir dalam shalat jenazah7. Dan hendaklah ia mengetahui bahwa musibah dan petaka telah menyelimuti dan menyelubunginya.

Ketiga: Cinta yang mubah yang datang tanpa dapat dikuasai. Seperti ketika seorang lelaki diceritakan tentang sosok wanita yang jelita lalu tumbuh rasa suka di hatinya. Atau ia melihat wanita cantik secara tidak sengaja hingga hatinya terpikat. Namun rasa suka/ cinta itu tidak mengantarnya untuk berbuat maksiat. Datangnya begitu saja tanpa disengaja, sehingga ia tidak diberi hukuman karena perasaannya itu. Tindakan yang paling bermanfaat untuk dilakukan adalah menolak perasaan itu dan menyibukkan diri dengan perkara yang lebih bermanfaat. Ia wajib menyembunyikan perasaan tersebut, menjaga kehormatan dirinya (menjaga ‘iffah) dan bersabar. Bila ia berbuat demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya pahala dan menggantinya dengan perkara yang lebih baik karena ia bersabar karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjaga ‘iffah-nya. Juga karena ia meninggalkan untuk menaati hawa nafsunya dengan lebih mengutamakan keridlaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ganjaran yang ada di sisi-Nya. (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 370-371)

Bila cinta kepada pasangan hidup, kepada suami atau kepada istri, merupakan perkara kebaikan, maka apa kiranya yang mencegah seorang suami atau seorang istri untuk mencintai, atau paling tidak belajar mencintai teman hidupnya?
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Catatan kaki:

1 Tiga perkara ini (wanita, minyak wangi dan shalat) dinyatakan termasuk dari dunia. Maknanya adalah: ketiganya ada di dunia. Kesimpulannya, beliau menyatakan bahwa dicintakan kepadaku di alam ini tiga perkara, dua yang awal (wanita dan minyak wangi) termasuk perkara tabiat duniawi, sedangkan yang ketiga (shalat) termasuk perkara diniyyah (agama). (Catatan kaki Misykatul Mashabih 4/1957, yang diringkas dari Al-Lam’aat, Abdul Haq Ad-Dahlawi)
2 HR. Ahmad 3/128, 199, 285, An-Nasa`i no. 3939 kitab ‘Isyratun Nisa’ bab Hubbun Nisa`. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (1/82)
3 HR. Al-Bukhari no. 3662, kitab Fadha`il Ashabun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Lau Kuntu Muttakhidzan Khalilan” dan Muslim no. 6127 kitab Fadha`ilush Shahabah, bab Min Fadha`il Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
4 HR. Muslim no. 6228 kitab Fadha`ilus Shahabah, bab Fadha`il Khadijah Ummul Mu`minin radhiallahu ‘anha
5 Disebutkan bahwa Barirah memiliki paras yang cantik, tidak berkulit hitam. Beda halnya dengan Mughits, suaminya. Barirah menikah dengan Mughits dalam keadaan ia tidak menyukai suaminya. Dan ini tampak ketika Barirah telah merdeka, ia memilih berpisah dengan suaminya yang masih berstatus budak. Dimungkinkan ketika masih terikat dalam pernikahan dengan suaminya, Barirah memilih bersabar di atas hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun ia tidak menyukai suaminya. Dan ia tetap tidak menampakkan pergaulan yang buruk kepada suaminya sampai akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelapangan dan jalan keluar baginya. (Fathul Bari, 9/514)
6 Lihat hadits dalam Shahih Al-Bukhari no. 5280-5282, kitab Ath-Thalaq, bab Khiyarul Amati Tahtal ‘Abd dan no. 5283, bab Syafa’atun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Zauji Barirah.
7 Artinya dia telah mati

(Sumber: Majalah Asy Syariahh No. 24/II/1427 H/2006 halaman 78 s.d. 81, judul: Mawaddah, Mahabbah & Rahmah dalam Kehidupan Sepasang Insan, penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah, URL sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=368)

Senin, 26 Juli 2010

Seputar Ujian Di Kehidupan Kita

Ujian dari Allah Lewat Pendamping Hidup.

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), bagi mereka laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi kepada mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).”
(QS An Nuur [24] : 23-25)

“(Pada hari pembalasan itu / akhirat) Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”
(QS An Nuur [24] : 26)

Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan sebaliknya, begitu seterusnya. Lalu, mengapa Al Qur’an menuturkan pula bahwa ada hamba-hamba Allah yang sangat shaleh, yakni Nuh As dan Luth As, memiliki istri yang durhaka kepada Allah SWT. Juga wanita shalehah seperti Asiyah, ternyata bersuamikan Fir’aun, orang yang sangat ingkar kepada Allah SWT. Walaupun, ada juga yang keduanya shaleh, seperti Rasul SAW dan istri-istrinya. Dan ada yang keduanya durhaka, seperti Abu Jahal dan istrinya.

Bila kita telaah lebih jauh, surat An Nuur ayat 26 diatas ternyata diawali oleh ayat-ayat (23-25) yang menceritakan tentang balasan kehidupan di akhirat kelak. Artinya, kondisi pada ayat 26 tersebut hanyalah berlaku di akhirat, tidak berlaku untuk kondisi di dunia.

Buktinya, dalam kehidupan nyata sehari-hari pun, tak bisa kita pungkiri bahwa tak sedikit wanita shalehah yang memiliki suami yang tidak shaleh atau sebaliknya. Maha Suci Allah dari berbuat dzalim. Dunia memang diciptakan Allah hanyalah sebagai tempat untuk menguji manusia, apakah kita hamba Allah atau bukan, bertakwa atau tidak, layak memasuki surga atau tidak. Karena itu, karakter pasangan seperti apapun yang ditakdirkan Allah untuk kita, maka hal itu pun merupakan ujian bagi kita.

Karena dunia ini hanyalah tempat ujian, bukan tempat pembalasan amal perbuatan, maka keadilan memang tak selalu ada di dunia. Berbeda dengan kehidupan akhirat, perbuatan baik atau buruk sekecil apapun yang kita lakukan di dunia pasti akan dibalas dengan seadil-adilnya oleh Allah Yang Maha Adil di akhirat kelak.

Justru, salah satu ujian di dunia ini adalah bagaimana kita menyikapi ujian lewat pendamping hidup kita yang masih jauh dari Allah. Ini merupakan salah satu cara untuk menentukan siapa yang tetap teguh pada kebaikan dan siapa yang menyimpang dari jalan-Nya.

Selain itu, dalam perbincangan seputar memilih pendamping hidup pun, seringkali diungkapkan bahwa, “Bila kita menginginkan pasangan yang shaleh, maka kita harus memperbaiki diri terlebih dahulu agar menjadi wanita shalehah. Harapannya, agar kita bisa mendapatkan pasangan yang shaleh pula.”

Tidak salah ungkapan terebut, hanya saja upaya untuk membentuk karakter shalehah dalam diri bukan sekadar agar mendapatkan pasangan yang shaleh, tapi harus ditujukan semata-mata untuk menghambakan diri kepada Allah SWT, karena sudah selayaknya setiap mahluk di langit dan di bumi tunduk dan patuh kepada-Nya.

Ungkapan diatas bisa jadi dilatarbelakangi karena memahami Surat An Nuur ayat 26 (yang menyebutkan bahwa wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan wanita yang keji untuk laki-laki yang keji) sebagai suatu kondisi yang juga akan terjadi juga dalam kehidupan di dunia, padahal tidak demikian halnya.

Semoga Allah SWT menuntun kita agar menjadi seorang muslim yang shaleh dan shalehah, menjadi hamba Allah yang senantiasa memurnikan ketaaatan kepada-Nya. Wallahu’alam.